Menjadi Boros yang Benar

Saya pernah bertanya kepada beberapa teman pria, apa yang ada dalam pikiran mereka bila bebicara tentang hubungan antara wanita dengan uang. Jawabannya cukup menarik, “Perempuan itu identik dengan boros, perempuan itu identik dengan belanja”, kesimpulannya perempuan tidak bisa dipisahkan dari belanja dan boros.

Saya tidak akan meneruskan komentar teman-teman saya tadi karena tulisan ini dibuat untuk perempuan.

 

Perempuan dan Belanja

Saya masih ingat buku pelajaran Bahasa Indonesia saat saya di sekolah dasar dulu. Bila kita menyebut kata belanja, maka padanan kata yang tepat adalah ibu. Dulu sih saya terima saja padanan itu. Tapi saat ini saya bertanya-tanya, kenapa kalau ada kata belanja selalu identik dengan perempuan? Apakah pria tidak pernah belanja?

Selalu “Ibu pergi berbelanja ke pasar” tidak pernah “Ayah pergi berbelanja ke pasar”.

Tapi sudahlah tidak usah dibahas, karena perempuan juga tidak protes dikatakan suka berbelanja, dan tidak marah pula dikatakan identik dengan belanja.

Namun kalau dikatakan boros, mungkin menjadi masalah. Apakah mau dikatakan boros ? Apakah tidak marah dikatakan boros? Tidak usah marah, karena pria juga bisa berbelanja, dan sangat mungkin sekali bisa boros. Bahkan lebih boros dari kaum perempuan.

Sebenarnya apa sih yang dikatakan boros itu? Boros itu bila kita berbelanja sangat banyak dan jumlahnya besar. Jadi walaupun punya uang, kalau kita berbelanja banyak maka dikatakan boros. Apalagi kalau tidak punya uang dan belanja banyak; sudah boros ‘belagu’ pula.

Sampai saat ini memang harus diakui kalau berbicara tentang boros maka kita hampir selalu berpikiran negatif. Banyak belanja pasti menghabiskan banyak uang bukan? Ya pasti negatif lah.

Namun bisakah boros itu bersifat positif?

 

Belanja dan Boros

Sebenarnya kita semua pasti memaklumi bila perempuan senang berbelanja, kodrat mereka yang menyukai keindahan membuatnya selalu mencari cara untuk mempercantik diri. Dan jaman sekarang hal tersebut harus dibeli.

Masalah akan timbul bila belanja sudah melewati batas. Disitulah kata boros keluar. Pengeluaran dana yang terlalu banyak, apalagi dengan hasil barang yang didapat bukanlah barang yang dibutuhkan, maka lengkaplah sudah: boros dan rugi. Boros karena uang yang dikeluarkan cukup besar, rugi karena barang yang didapat tidak dibutuhkan.

Coba perhatikan berapa banyak baju yang ada dilemari kita. Berapa yang sebenarnya kita butuhkan? Kalau mau jujur mungkin tidak banyak. Baju yang dibutuhkan mungkin tidak sampai 10, namun yang lainnya? Adalah baju yang “Mungkin”, “Iira-kira”, dan “Bisa jadi” akan dibutuhkan.

 

Boros yang positif

Mungkin Anda akan sedikit heran dengan kata ini, boros yang positif, apakah bisa? Terus terang saya adalah orang yang suka keseimbangan, kalau ada negatif pasti ada positif, maka kalau ada boros yang negatif pasti juga ada boros yang positif. Nah karena boros identik dengan mengeluarkan uang untuk berbelanja, maka boros bisa menjadi positif bila:

 

  1. Boros Anda sudah dianggarkan

Anggaran boros? Sepertinya aneh tapi menurut saya tidak juga. Pengeluaran bisa dikatakan boros bila  terlalu besar, namun terlalu besar dibandingkan apa? Nah ini dulu yang harus diluruskan. Suatu pengeluaran akan menjadi besar atau kecil bila dibandingkan dengan standar yang telah kita tetapkan. Jadi misalnya untuk membeli sepatu kita tetapkan angkanya sebesar Rp1 juta namun realitasnya Rp1.5 juta maka kita telah melakukan pemborosan sebesar Rp500 ribu. Tapi kalau anggaran pembelian tersebut sebesar Rp1.5 juta dan habisnya Rp1.5 juta maka kita tidak boros, betul tidak? Jadi tidak ada salahnya bila kita menganggarkan ‘pemborosan’ kita. Mau beli tas seharga Rp 5 juta tahun depan, cuma menyisihkan sebesar Rp500 ribu kok tiap bulan, dan dijamin tahun depan bisa ‘boros’ sebesar Rp5 juta. Jadi kita tidak boros kan.

 

  1. Boros sebagai investasi

Mungkin kita iri dengan rekan kantor kita. Tasnya kok bagus ya, bajunya kok merk yang itu ya? Atau sepatunya selalu berganti. Apa tidak boros?

Tapi pernah kan kita bertanya apa alasannya dia membeli tas yang bagus dan mahal itu, baju yang merknya mentereng itu, dan sepatu yang selalu berganti?

Bisa jadi karena itu adalah modal dia agar bisa tampil lebih meyakinkan dalam bekerja. Untuk profesi tertentu, mereka membutuhkan sesuatu yang dianggap orang lain sebagai pemborosan. Seorang public figure, marketing, public relation bisa jadi memang membutuhkan semua hal tersebut untuk menunjang profesinya. Tidak lucu kan kalau seorang MC sepatunya belel ? Atau seorang marketing menggunakan tas seharga Rp75 ribu, tentunya hal itu tidak membuat nilai plus pada penampilan mereka. Nah untuk mereka yang seperti ini mengeluarkan uang lebih banyak bukan berarti pemborosan, karena bagi mereka ini adalah investasi. Sebab dengan pengeluaran yang lebih besar dari orang lain tadi ia berharap mendapatkan nilai lebih yang pada ujung-ujungnya akan meningkatkan nilai dirinya sehingga bisa lebih sukses di kantornya, dan pastinya akan bisa membantu perusahaan tempatnya bekerja.

 

  1. Boros sebagai pekerjaan

Seorang rekan wanita di kantor setiap 2 bulan sekali selalu mengambil libur 1 hari di tiap Jumat untuk bepergian keluar negeri. Pengeluarannya setiap melakukan perjalanan bisa jadi sekitar 4-5 jutaan. Jadi cukup besar. Namun ada yang menarik, setiap dia pulang dari luar negeri itu dia selalu menggunakan baju baru lengkap dengan aksesorisnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ternyata selama melakukan perjalanan dia memang berbelanja. Tapi dia tidak hanya berbelanja untuk dirinya sendiri namun juga untuk orang lain. Lho kok? Benar, rekan kantor tersebut memiliki usaha konveksi yang cukup maju. Setiap keluar negeri, tujuannya adalah untuk mendapatkan barang baru yang siap dilepas ke pasaran. Minimal sih pasar yang paling dekat yaitu rekan sekantor.

Jadi boros tetap tidak akan menjadi masalah sepanjang ke tiga hal di atas telah terpenuhi ya.

Comments are closed.